Jumat, 18 Januari 2013

Munazarah Imam Ahmad ibn Hambal dengan Mu'tazilah

Ini adalah sepenggal kisah dari Imam Ahmad ibnu Hambal -rahimahullahu ta'ala- saat beliau ber-munazarah dengan para mu'tazilah karena menganggap al Qur'an itu bukan makhluk tapi kalam ALLAH.

Saat itu, Imam Ahmad dibawa ke hadapan khalifah Mu'tashim dan sang khalifah meminta para kaum Mu'tazilah itu untuk melakukan munazarah terhadap Imam Ahmad.

Khalifah Mu'tashim memerintahkan kepada salah seorang di antara pembesar mu'tazilah itu, "Bicaralah ya Abdurrahman, lawan ia munazarah!"

Maka Abdurrahman pun terpaksa mematuhinya dan segera bertanya kepada Imam Ahmad, "Bagaimana pendapat anda mengenai al Qur'an?"

Imam Ahmad bin Hambal diam saja tak menjawab. Mu'tashim pun menyela, "Jawablah ya Ahmad bin hambal!"

Lalu Imam Ahmad balik bertanya, "Dan bagaimana pendapat anda tentang ilmu ALLAH?"

Abdurrahman tidak menjawab lalu Imam Ahmad menyambung, "Qur'an adalah sebahagian dari ilmu ALLAH. Maka siapa yang mengatakan Qur'an itu makhluk, berarti ia pun mengatakan bahwa ilmu ALLAH pun makhluk. Jelas yang berpendirian begitu adalah kufur..."

Abdurrahman tak menjawab juga, tapi seorang Mu'tazilah tampil menjawab, "Ya Amirul Mukminin dengarlah, ia telah mengkufurkan kita dan tuanku sendiri. Demikianlah kemarin juga ia telah mengkafirkan utusan tuanku, ketika utusan itu mengatakan bahwa ilmu ALLAH adalah makhluk..."

Mu'tashim tidak mengutik hasutan itu, hingga membuat kaum Mu'tazilah sedikit sanksi. Tapi Abdurrahman muncul, "ALLAH sudah ada pada zaman azali, dan di kala itu Qur'an belum ada!"

Ibnu Hambal -rahimahullah- menjawab, "Sudah kukatakan, Qur'an itu adalah sebagian dari ilmu ALLAH. Maka kalau ada yang mengatakan kalau ALLAH sudah ada, tapi tak ada ilmu besertanya, maka ia mengatakan bahwa ALLAH tak berilmu!"

Ibnu Abi Du'ad masuk dan berkata, "Inilah sesat yang menyesatkan itu yaa Amirul Mukminin. Di sini ada para qadhi dan para fuqaha tuanku, cobalah tanyakan kepada mereka!"

Mu'tashim bertanya, "Apa pendapat anda sekalian padanya?"

Serentak para qadhi dan fuqaha menjawab, "Ia sesat lagi menyesatkan dan berbuat bid'ah!"

Sebab itu kahlifah membujuk supaya Imam Ahmad mau menuruti pendirian mereka, ujarnya, "Iyakanlah aku ya Ahmad dalam pendirian ini. Anda akan kujadikan orang istimewaku yang dapat sembarang waktu menginjak tikar permadaniku..."

"Ya Amirul Mukminin," jawab Ibnu Hambal, "Apabila mereka dapat memberiku keterangan dari Qur'an dan Sunnah, pasti aku akan mengiyakannya..."

Ahmad bin Abi Du'ad menyambut, "Yang anda katakan hanya kitab dan sunnah saja?!"

"Apa lagi?" sahut Imam Ahmad. "Apakah Islam bisa tegak tanpa keduanya?"

Seorang Mu;tazilah lain membantu, "Bukankah ALLAH berfirman, KHALIQU KULLI SYAI'IN. IA yang menjadikan segala sesuatu. Sedang Qur'an termasuk dalam segala sesuatu, sebab itu, ia tak lain dari makhluk."

"Ayat ini," sahut Ibnu Hambal, "adalah umum bentuknya, tapi tujuannya tertentu, sama seperti angin yang telah membinasakan kaum Hud, yang dalam Qur'an digambarkan dengan kata, TUDAMMIRU KULLA SYAY'IN -angin itu membinasakan segala sesuatu- Apakah benar angin tersebut telah membinasakan segalanya, bukan hanya sesuatu yang dikehendaki oleh ALLAH -Subhanu wa Ta'ala- saja?"

Mu'tazilah tadi tak menjawab. Tapi seorang lagi maju mendebat, "ALLAH telah berfirman, 'MAA YA'TIEHIM MIN DZIKRIN MIN RABBIHIM MUKHDATSIN ILLAS TAMA'UUHU WA HUM YAL 'ABUUN - tiadalah peringatan yang datang dari TUHAN mereka', sesuatu yang diada-adakan, kecuali mereka mendengarkannya dengan main-main. Maka bukankah kalau ia diadakan, tandanya ia makhluk?"

Ibnu Hambal menjelaskan, "Kata-kata ADDZIKR -yang arti dan tujuannya adalah Qur'an, adalah seperti firman ALLAH, 'WAL QUR'ANU DZIDDIKRI' - dan Qur'an itu mempunyai peringatan - Pada ayat ini di mana AD DZIKR itu adalah Qur'an, ditandai dengan alif lam. Tapi pada ayat pertama tanda alif lam, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata-kata DZIKRIN di sana bukan Qur'an, melainkan peringatan dari selain Qur'an.

Seorang Mu'tazilah lagi tampil mengajukan keterangan, "Imran bin Hushein meriwayatkan dari Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- mengenai firman ALLAH, 'INNALLAHA KHALAQAD DZIKRA -sesungguhnya ALLAH telah menjadikan AD DZIKR (Al Qur'an). Ini pun adalah satu ketetapan dari Nabi bahwa Qur'an itu makhluk.

Imam Ahmad menjawab, "Anda telah keliru, sebab hadits yang kita riwayatkan dari Imran bin Hushein itu, bunyinya bukan demikian, tapi berbunyi, 'INNALLAHA KATABADZ DZIKRA' - sesungguhnya ALLAH telah menuliskan ADZ DZIKR (Qur'an)."

Masuk lagi seorang Mu'tazilah, "Bukankah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkata, 'Mendekatkan dirilah engkau kepada ALLAH dengan apa yang engkau sanggupi, sebab tak satupun yang paling disukai ALLAH untuk menekatkan diri kepada-NYA, melainkan dari kalam -perkataan-NYA sendiri."

"Memang benar ia diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam," Imam Ahmad mengaku.

Maka Mu'tazilah tadi melanjutkan, "Dalam hadits itu ada dalil yang menyatakan Qur'an itu memang makhluk!"

Imam Ahmad bin Hambal menjawab, "Tapi aku tidak melihat dalilnya dalam hadits itu!"

Dijelaskan kembali oleh Mu'tazilah itu, "Apabila anda membaca Qur'an hendak taqarrub, bukankah anda membaca kalimat-kalimat yang tersusun dari huruf-huruf dan suara-suara? Dan bukankah huruf-huruf dan suara yang tersusun itu tidak lain dari perkataan makhluk? Adakah lagi tempat anda lari, sesudah kita diperintah Nabi -shallallahu'alaihi wa sallam- untuk bertaqarrub kepada ALLAH dengan kata-kata yang berkedudukan makhluk itu, untuk tidak menyerah dan mengakui jika Al Qur'an itu memang makhluk?"

Imam Ahmad memberikan jawaban, "Qur'an adalah kalamullah yang qadhim -terdahulu- sejak bermula dan jelas ia bukan makhluk. Adapaun perbuatan kita ketika menuliskan dan melafalkannya memang makhluk dan Rasulullah sendiri berkata, 'Hiasilah Qur'an itu dengan suaramu!' Jadi Qur'an bukanlah suara kita yang berkedudukan makhluk, di mana dengan suara itu kita hiasi ia. Kalam adalah kalamullah, sedang suara adalah suara qari' -pembacanya."

Lagi seorang Mu'tazilah menyertai, "Ibnu Mas'ud meriwayatkan dari Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- 'MAA KHALAQAL LAHU MIN JANNATIN WA LAA NAARIN WA LAA ARDHIN A'ZHAMU MIN AYAATIL KURSIY' -tidak ada yang dijadikan ALLAH, baik berupa surga, neraka, langit, dan bumi, yang lebih besar dari ayat kursi. Ini jelas bahwa ayat kursi adalah makhluk dan ayat kursi itu adalah dari Qur'an!"

Ahmad bin hambal menjawab, "Adakah anda berpendapat dari hadits itu, yang menyatakan bahwa perbuatan (menciptakan/khalaq) itu terjatuh pada ayat kursi? Yang jelas dalam hadits itu bahwa perbuatan menjadikan terjatuh pada surga, neraka, langit, dan bumi. Bukan atas Qur'an!"

Ahmad bin Du'ad menimpali lagi, "Kegigihan anda menyatakan Qur'an itu kalam ALLAH, bukan makhluk, berarti bahwa anda telah memandang ALLAH punya anggota bicara seperti makhluk, sedang menyerupakan ALLAH dengan makhluk adalah kafir adanya!"

Imam Ahmad bin Hambal menjawab, "IA Maha Esa, tempat kembali segalanya, tiada beranak dan tiada diperanakkan, tak ada yang menyamai-NYA dan tak ada yang serupa dengan DIA. IA adalah sebagaimana yang disifati-NYA sendiri. Diceritakan kepadaku oleh Abdur Razaq, dari Mu'ammar, dari Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Nabi -'alaihi shalatu wa sallam- bersabda, 'Sesungguhnya mengajak ALLAH berbicara dengan Musa -'alaihissalam- dengan seribu tambah dua puluh ribu tambah tiga ratus ribu tambah tiga belas ribu kalimat, maka kalam dari ALLAH dan istima' -mendengar- dari Musa. Sebab itu berkatalah Musa, 'Ya TUHANku ENGKAUkah yang mengajakku bicara atau yang selainMU?' Jawab ALLAH, 'Ya Musa AKUlah yang berbicara denganmu, tidak ada sesuatu antaraKU denganmu...' Inilah yang diartikan oleh Rasul dari TUHANnya. Dan aku hanya mengatakan apa yang dikatakan Rasul Shallalllahu'alaihi wa sallam."

Salah seorang Mu'tazilah menyambut, "Anda telah membohongi Rasulullah!"

Imam Ahmad bin Hambal menanggapi, "Kalau ini suatu kebohonganku, maka ALLAH sendiri telah berfirman, WA KALLAMALLAHU MUUSA TAK LIIMAN... -Dan telah berbicara ALLAH kepada Musa secara langsung. Dan IA pun berfirman, WA LAAK IN HAQQAL QAULU MINNY LA-AMLAANNA JAHANNAMA MINAL JINNATI WANNAASI AJMA'IIN... -Tetapi telah tetap perkataan-KU, sungguh AKU akan penuhi neraka jahannam itu sebagian dari Jin dan manusia sekalian!' Maka perkataan adalah dari ALLAH Subhanahu wa Ta'ala, dan perkataan itu bukan makhluk.

Demikian mereka, kaum Mu;tazilah itu menanyai Al Imam dan beliau -rahimahullah- menjawabnya dengan suara meninggi, hingga tiba waktu dzuhur, tanpa mereka dapat mematahkan atau menjatuhkan hujjahnya.

(Dikutip -dengan sedikit perubahan gaya bahasa- dari buku "Duka Derita Imam Ahmad bin Hanbal" halaman 64-71, yang ditulis oleh M. Sabri Munier yang beliau kumpulkan dan sarikan dari Majalah Al Muslimun, Mesir. Penerbit "Bulan Bintang" Jakarta, tahun 1976)

Muhammad Valdy Nur Fattah

Selasa, 17 April 2012

Sanggahan Terhadap Buku Membela ALLAH (Agus Mustofa)


Agus Mustofa

Buku "Membela Allah"
Dalam sebuah buku berjudul "Membela Allah" yang ditulis oleh salah seorang pencetus ideologi Tasawuf Modern di Indonesia, Agus Mustofa, nampak terlihat sekali kerancuan pemikiran dan kedangkalan ilmunya dalam menyikapi hal berkenaan dengan tafsir Al Qur'an dan penggunaan Hadits (sunnah) Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wa sallam. Beliau (Agus Mustofa) enggan disebut dirinya sebagai munkaris sunnah (orang yang ingkar terhadap sunnah), namun dari buku-bukunya kita bisa mengetahui bahwa beliau ini adalah seorang Ingkar Sunnah namun beliau tak menyadarinya. Berikut akan saya paparkan tulisan-tulisan beliau yang mengindikasikan bahwa ia ingkar sunnah disertai bantahannya Insya ALLAH:

1. Kontroversi penggunaan As Sunnah (Hadits)

Pernyataan:

Saya memang merujuk sumber Al Qur'an jauh lebih banyak dibandingkan dengan sumber hadits. Tentu saja saya punya alasan. Tetap saya sama sekali tidak inkar sunnah. Apalagi, dituduh ingkar kepada Rasulullah SAW yang sangat saya cintai dan saya muliakan. Itu benar-benar tidak bertanggung jawab.

Ada dua hal yang sangat mendasar yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini. Yang pertama, kenapa saya mengambil sumber ayat-ayat Qur'an lebih banyak dari hadits. Dan yang kedua, masa iya saya dituduh tidak taat pada Rasulullah hanya karena lebih banyak mengambil ayat-ayat Qur'an dibandingkan hadits. Padahal kita tahu, bahwa Al Qur'an adalah warisan utama beliau, di samping keteladanan yang beliau tunjukkan dalam amalan maupun ucapan sepanjang hidup dan masa kenabiannya.

Yang pertama, kenapa saya lebih banyak mengambil ayat-ayat Qur'an daripada hadits. Ada sejumlah alasan yang ringkasnya sebagai berikut.

1.) Karena Al Qur'an adalah petunjuk utama yang kebenaran dan keontetikannya terjaga 100%. Dan siapa saja yang tidak mengambil Al Qur'an sebagai sumber petunjuknya, dijamin ia sedang berkawan dengan setan. Dia akan disesatkan olehnya, dan mengira sedang mendapat petunjuk padahal bukan.

QS. Al Hijr (15): 9


"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya."

QS. Al Baqarah (2): 2


"Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa."

QS. Az Zukhruf (43): 36-37


"Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) Maka syaitan Itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.

"Dan Sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk."

2.) Terjadi pertengkaran yang sangat serius di kalangan umat Islam sendiri, terkait dengan sumber-sumber hadits dan periwayatnya. Terutama antara Syi'i dan Sunni. Kelompok yang satu mengharamkan yang lain. Bahkan saling menghancurkan dan saling membunuh, sejak zaman para sahabat sampai sekarang, ratusan tahun. Apakah kita akan ikut mengabadikan dengan tetap memelihara perbedaan antara mereka? Sebenarnya, mereka tidak memiliki perbedaan serius terkait pengambilan ayat-ayat Qur'an. Artinya, penggunaan ayat-ayat Qur'an sebagai sumber petunjuk utama bisa digunakan untuk 'mendamaikan' perbedaan yang sangat mencolok antara kalangan umat Islam sendiri, disebabkan keontetikannya yang terjamin sampai kini. Sedangkan penggunaan hadits sering memunculkan perdebatan tak ada akhirnya disebabkan berbagai hal, mulai dari ketidaksetujuan pada periwayatnya, ketidakcocokan isinya dengan realitas ilmu pengetahuan, keasliannya, dan sebagainya. Masing-masing memiliki metodologi yang sulit untuk disatukan. Dan berakhir dengan pertengkaran yang rumit serta tidak ada habisnya. Penggunaan hadits sesedikit mungkin, dan memperbanyak penggunaan ayat-ayat Qur'an yang sudah diyakini bersama keotentikannya menjadi jalan keluar yang menyejukkan bagi persatuan umat Islam.

3.) Secara simultan, penggunaan hadits tidaklah bersifat mutlak dalam memahami al Qur'an. Karena tidak semua ayat Qur'an ada penjelasannya di hadits.  Karena itu, juga tidak semua ayat Qur'an ada asbabun nuzul-nya. Tidak sampai separonya saja ayat Qur'an yang ada asbabun nuzul-nya, dan ada penjelasannya di dalam hadits. Sehingga, sebagaimana telah kita bahas di depan, tafsir menggunakan metode periwayatan -metode ma'tsur- mengalami masalah serius disebabkan oleh pertengkaran di sekitar keontentikan sumber periwayatannya. Sehingga Imam Ahmad mengatakan, bahwa pakar riwayat sebenarnya tidak menjamin kemutlakannya, melainkan sekadar menyodorkan hasil karyanya untuk diteliti lebih jauh kebenarannya. Dan memang pada kenyataannya, redaksi untuk peristiwa yang sama bisa beragam seiring dengan periwayat yang berbeda. Bahkan isinya juga bisa bertabrakan. Sebagaimana telah saya bahas dalam buku serial ke-18, Metamorfosis Sang Nabi. Bisa bertabrakan antara sesama periwayat, atau bertabrakan dengan realitas.

4. Penggunaan hadits sebagai sumber informasi tidak boleh berdiri sendiri, melainkan haruslah menyertakan ayat-ayat Qur'an yang menjadi rujukannya. Sebaliknya, penggunaan ayat al Qur'an tidak harus menggunakan hadits sebagai penjelas. Ini dikarenakan fungsi hadits adalah penjelas ayat al Qur'an, tetapi tidak semua ayat al Qur'an ada penjelasannya di hadits. [1]

Tanggapan saya:

Kitab Hadits
1.) Benar bahwa sumber utama dalam agama ini (Islam) adalah merujuk kepada kitabullah (Al Qur'an) yang keautentikannya dijamin keterjagaannya oleh ALLAH Azza wa Jalla. Namun adalah sebuah kesalahan besar apabila ada seseorang yang ingin berpegang teguh dengan al Qur'an al Karim tanpa memahaminya dengan bantuan al Hadits (Sunnah). 

Kita dapat melihat sendiri kebanyakan firqah (kelompok) sesat mengklaim telah berpegang teguh kepada Al Qur'an, padahal mereka berpedoman kepada takwil dan penafsiran yang menyimpang, sebagaimana yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Mereka semua merasa telah cukup dengan berpedoman pada Al Qur'an saja tanpa bantuan Sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah pernah bersabda;

“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh (Sebuah telaga di surga,).”[2]

Sungguh ini adalah sebuah kesombongan yang besar terhadap Rasulullah dengan menganggap dirinya bisa menguasai hakikat kebenaran Al Qur'an tanpa menggunakan hadits atau sunnah dalam memahami ayat-ayat-NYA. Ini mengindikasikan bahwa penting sekali menggandengkan antara Qur'an dan Sunnah dalam berbagai macam permasalahan agama.

2.) Menarik juga untuk diketahui bahwasannya, Agus Mustofa tidak benar-benar memahami perbedaan yang mendasar dan sangat bertolak belakang antara kelompok Sunni (Ahlu Sunnah wal Jama'ah) dengan Syi'i (Syi'ah Rafidhah) dalam menukil hadits dikarenakan perbedaan yang besar di antara aqidah mereka. Syi'ah termasuk golongan sesat yang sejatinya telah keluar dari Islam sehingga tak bisa dibilang bahwa kehadiran hadits telah menjadi perdebatan yang sangat besar di kalangan umat Islam, melainkan perdebatan besar dengan yang berada di luar barisan Islam yang haq.

Untuk mengetahui di mana letak perbedaan aqidah Syi'ah dengan aqidah Ahlus Sunnah yang haq, bisa dilihat di link berikut: Syi'ah Memang Beda

3.) Agus Mustofa mengatakan bahwa tidak perlu menggunakan hadits untuk menjelaskan Al Qur'an. Lantas bila demikian, apakah di dalam Al Qur'an terdapat perincian tentang shalat, zakat, haji, atau dzikir-dzikir? Bahkan dalam Al Qur'an sendiri menerangkan pentingnya untuk mengikuti Sunnah Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam. Sunnah Rasulullah itu telah ada di Al Qur'an, jadi tidaklah benar apabila mengabaikannya. ALLAH berfirman:

"Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seseorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al Baqarah [2]: 129)

Imam Abdullah An-Nasafi (w. 710 H) berkata, "Yang dimaksud membacakan kepada mereka ayat-ayat-MU yaitu membacakan dan menyampaikan kepada mereka bukti-bukti keesaan ALLAH dan kebenaran para nabi yang diutus berdasarkan wahyu yang diturunkan. Dan, yang dimaksud mengajari mereka Al-Kitab yaitu mengajarkan Al-Qur`an kepada mereka. Sedangkan yang maksud al-hikmah yaitu Sunnah Nabi dan pemahaman Al-Qur`an. Adapun maksud menyucikan mereka adalah membersihkan mereka dari perbuatan syirik dan segala najis. Jadi, makna al-hikmah dalam ayat ini adalah Sunnah."

Tentang ayat ini, Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni mengatakan dalam kitab tafsirnya, bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat ALLAH adalah ayat-ayat Al-Qur`an. Sedangkan yang dimaksud al-hikmah yaitu Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dengan keduanyalah (Al-Qur`an dan Sunnah) seorang mukmin dapat memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan. [3]

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Yang kudengar dari keterangan para ulama Al Quran, mereka mengatakan bahwa Al Hikmah adalah Sunnah (hadits) Rasulullah.” [4]

Di dalam Al Qur'an pula terdapat perintah untuk mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam. ALLAH Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai ALLAH, ikutilah aku, niscaya ALLAH mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' ALLAH Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran [3]: 31)

Katakanlah, "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan ALLAH kepadamu semua, yaitu ALLAH yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada TUHAN (yang berhak disembah) selain DIA, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada ALLAH dan Rasul-NYA, nabi yang ummi yang beriman kepada ALLAH dan kepada kalimat-kalimat-NYA (kitab-kitab-NYA) dan  ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk." (QS. Al A'raaf [7]: 158)

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah ALLAH dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu." (QS. Muhammad [47]: 33)

Maka sudah menjadi suatu kewajiban bagi seorang Muslim untuk mengikuti Sunnah Rasul-NYA sebagai bentuk pengejawantahan dari Al Qur'an. Bahkan secara shahih diriwayatkan bahwa wasiat terakhir Rasulullah itu adalah untuk berpegang teguh kepada Sunnahnya serta Sunnah Khulafa'urrasyidin. Rasulullah bersabda;

بِالنَّوَاجِذِ عَلَيْهَا عَضُّوا عْدِيبَ مِنْ الرَّاشِدِينَ الخُلَفَاءِ وَسُنَّةِ بِسُنَّتِي عَلَيْكُمْ

Hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa Ar-Rasyidin setelahku, gigitlah dengannya dengan gigi geraham kalian.” [5]

Bahkan Rasulullah mengatakan bahwasannya siapa saja yang tidak mengikuti sunnah beliau atau benci dengan sunnahnya, tidaklah termasuk dari golongan umat beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam sabdanya;

مِنِّي فَلَيْسَ سُنَّتِي عَنْ رَغِبَ فَمَنْ

"Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku." (HR. Bukhari No. 4675, Muslim No. 2487)

Karena sesungguhnya, As Sunnah merupakan segala macam hal yang datangnya dari Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam dan Sunnah Rasulullah itu merupakan sebuah wahyu. ALLAH berfirman:

 
"Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya." (QS. An Najm [53]: 3)

Shahih Bukhari-Muslim
Abdullah bin Amr mengatakan, “Dahulu aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (karena) aku ingin menghafalkannya. Maka orang-orang Quraisy pun menghalang-halangiku. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya kamu telah menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia biasa. Beliau terkadang berbicara dalam keadaan marah.” Maka aku (Abdullah bin Amr) menghentikan diri dari menulis (hadits-hadits Nabi). Kemudian kejadian itu aku laporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda, Tulislah! [6] Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidaklah keluar dariku melainkan al haq (kebenaran).” [7]

2. Metode penafsiran Qur'an tanpa menggunakan As Sunnah (Al Hadits)

Pernyataan:

Tuduhan bahwa saya tidak taat kepada Rasulullah karena tidak menggunakan hadits dalam penafsiran adalah terlalu berlebihan, sangat provokatif, dan tidak bertanggung jawab. Tidak digunakannya hadits untuk melakukan penafsiran al Qur'an tidak serta merta menyebabkan kita mengingkari Rasulullah SAW.

Kenapa? Karena sesungguhnyalah hadits-hadits yang dimaksudkan sebagai kutipan ucapan dan perbuatan Rasulullah SAW itu adalah hasil penelusuran yang panjang pada zaman pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz dan setelahnya. Karena itu redaksi hadits selalu diceritakan oleh sahabat kepada orang lain, lalu kepada orang lain lagi, sampai ke generasi penulisnya, setelah lebih dari 100 tahun zaman Rasulullah.
Al Qur'an Al Karim

Berbeda dengan al Qur'an yang redaksinya langsung berasal dari Allah, dan teksnya terjaga selama belasan abad. Tidak ada perbedaan antara teks al Qur'annya Syi'i dengan Sunni, atau pun golongan manapun yang mengaku dirinya Islam. Perbedaannya adalah bagaimana mereka menafsirkan lewat metodologi yang mereka bikin sendiri. Karena itu, jika terjadi perbedaan maka Allah memerintahkan untuk melakukan tabayyun

Jadi, hadits adalah karya ilmiah dari pakar-pakar hadits yang dibukukan, dan kemudian dibuat kesepakatan-kesepakatan tentang kualitas dan ketepercayaannya. Sangat banyak ayat-ayat Qur'an yang tidak ada penjelasan haditsnya, terutama ayat-ayat ilmu pengetahuan, yang justru mendorong umat Islam untuk melakukan pengamatan langsung di lapangan lewat penelitian-penelitian secara ilimiah.

Ini pendapat yang lebih lengkap dari Agus Mustofa tentang pengertian hadits & sunnah, bisa dibaca di link berikut iniSalah Kaprah Pendefinisian Agus Mustofa Terhadap Snnah dan Hadits

Saya sudah banyak membahas ini di buku-buku sebelumnya. Perintah untuk melakukan penelitian biologi, fisika, geologi, astronomi, kedokteran, pertanian, dan lain sebagainya, ditegaskan oleh al Qur'an karena anda tidak akan menemukan penjelasan detilnya di hadits. Bahkan juga tidak di dalam al Qur'an.

Pemahaman ayat-ayat Kauniyah adalah salah satu tema yang sering diulang-ulang oleh Allah dalam al Qur'an, agar seorang hamba menemukan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya. Dan itulah proses sains.

Dengan demikian, al Qur'an sendiri yang mengajari kita, bahwa ayat-ayat Qur'an sebenarnya bisa langsung ditafsiri dengan menggunakan data-data ilmu pengetahuan. Bahwa kemudian, data-data itu bersifat relatif dan selalu mengalami update, ya memang begitulah kenyataannya. Seluruhnya bersifat relatif, sebagaimana ilmu pengetahuan juga relatif.

Yang penting, proses relatif itu bisa terus mengantarkan kita untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Penguasa Segala. Semakin kagum kepada-Nya. Bertasbih dan memuji keagungan-Nya. Serta menaati perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. [8]

Bila ingin melihat salah satu tulisan beliau (Agus Mustofa) tentang metode tafsir, bisa dilihat di link berikut: Metode Tafsir menurut Agus Mustofa

Tanggapan saya:
Syarah Shahih Bukhari "Fathul Baari" karya Imam Ibnu Hajar

1.) Para ulama ahli hadits mendefinisikan Sunnah sebagai apa-apa yang disandarkan kepada Nabi baik itu perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan-pen.) maupun sifat lahir dan akhlak. 

Para ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai apa-apa yang datang dari Nabi selain dari Al-Qur’an, sehingga meliputi perkataan beliau, pekerjaan, taqrir, surat, isyarat, kehendak beliau melakukan sesuatu atau apa-apa yang beliau tinggalkan.

Hadits menurut istilah ahli hadits adalah: Apa yang disandarkan kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya.

Sedangkan menurut ahli ushul fiqh, hadits adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan, yang disandarkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam setelah kenabian. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits, karena yang dimaksud dengan hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian. [9]

Jadi pengertian hadits itu tidak jauh dengan pengertian sunnah atau bisa dikatakan hadits itu juga bisa disebut sebagai As Sunnah. Tidak seperti yang dipaparkan oleh Agus Mustofa di dalam bukunya sebagaimana telah saya sebutkan di atas, ahlus sunnah tidak membuat definisi yang berbeda jauh antara Sunnah dan Hadits. Ini dikarenakan mungkin Agus Mustofa belum mempelajari secara benar tentang ushulus sunnah sehingga banyak tercampur dengan pemikiran akalnya semata ketika menafsirkan sesuatu. Jadi, hadits bukan merupakan hasil karya ilmiah seorang pakar hadits yang dibukukan. Ini adalah pendapat yang bathil!

2.) Pernyataan beliau bahwa banyak ayat Qur'an yang tidak ada penjelasannya dalam hadits. Namun hal ini tidaklah seutuhnya benar, karena memang fungsi hadits adalah sebagai penjelas Kitabullah. Imam Ibnu Al Qoyyim rahimahullah mengatakan bahwa hubungan hadits dengan al-Qur`an ada tiga:

  1. Hadits sesuai dengan al-Qur`an dari berbagai segi, sehingga datang al-Qur`an dan hadits pada satu hukum menunjukkan ada dan banyaknya dalil (semakin menguatkan).
  2. Hadits sebagai penjelas maksud al-Qur`an dan penafsirnya.
  3. Hadits menentukan satu hukum wajib atau haram pada sesuatu yang al-Qur`an diamkan.
As-Sunnah tidak akan keluar dari tiga kategori ini, sehingga As-Sunnah tidak akan menentang al-Qur`an sama sekali. [10]

Musnad Imam Ahmad
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “(Termasuk) landasan (utama) sunnah (syariat Islam) menurut (pandangan) kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah: bahwa sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penafsir dan argumentasi (yang menjelaskan makna) al-Qur’an.” [11]

Sebagaimana kita ketahui bahwasannya akhlak Rasulullah itu merupakan bagian dari Sunnah dan seperti yang telah banyak kita ketahui bersama, bahwa akhlak Rasulullah adalah akhlak yang diajarkan oleh Qur'an atau dengan kata lain Sunnah Rasulullah yang terdapat dalam akhlak beliau yang mulia merupakan intepretasi hidup dari Al Qur'anul Karim. Ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al Qur’an.” (HR. Muslim no. 746).

Bahkan ada ulama yang menganggap bahwa Sunnah itu merupakan ajaran Islam itu sendiri yang menjadi indikasi pentingnya untuk berpegang teguh padanya. Imam Abu Muhammad al-Barbahari berkata, “Ketahuilah, bahwa Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu ialah Islam, yang masing-masing dari keduanya tidak akan tegak tanpa ada yang lainnya.” [12]

3.) Agus Mustofa mengatakan bahwa Qur'an sebenarnya bisa langsung ditafsiri dengan menggunakan data-data ilmu pengetahuan. Padahal sejatinya, bila beliau mengetahui, sebagaimana beliau mengatakan bahwa tidak semua ayat Qur'an ada penjelasannya di dalam hadits; maka terlebih lagi semua ayat Qur'an tidak selalu bisa ditafsirkan dengan ilmu pengetahuan dan akal saja karena sifatnya yang relatif dan selalu berubah sementara ilmu ALLAH yang berasal dari Qur'an dan Sunnah itu bersifat tsawabbit (tetap).  Bila ilmu ALLAH itu dianggap relatif maka ini akan menimbulkan kerancuan berpikir serta keraguan dalam mengimani ayat-ayat-NYA. ALLAH berfirman:

"Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa." (QS. Al Baqarah [2]: 2)

Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, tidak relatif atau memiliki cabang-cabang lain yang berada di antara Haq dan Bathil. ALLAH berfirman:

"Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKU yang lurus, Maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan ALLAH agar kamu bertakwa." (QS. Al An'am [6]: 153)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini- berkata: “Firman ALLAH, “Ikutilah (jalan-Ku) dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain.” (Di sini) sungguh ALLAH menyebutkan tentang jalan-NYA dengan bentuk kata tunggal karena kebenaran itu hanya satu. Oleh sebab itu, ALLAH menyebutkan tentang jalan-jalan yang lain dengan bentuk kata jamak (banyak). Karena jalan-jalan yang lain terpisah-pisah dan bercabang-cabang….” [11]

Dan point yang paling penting yang harus saya sampaikan di sini adalah bahwa metodologi penafsiran ayat Qur'an tidak bisa sembarang apalagi metode bil ra'yi sebagaimana yang dipahami dan dianut oleh Agus Mustofa. Ini jelas bertentangan dengan qa'idah Ahlus sunnah dalam menafsirkan Al Qur'an. ALLAH Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al A'raaf [17]: 36)

Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda,


من قالأ في القرآن برأيه فأصاب فقد خطأ
 
"Barangsiapa membaca/mengartikan Al Quran dengan pendapatnya sendiri (tanpa manqul), walaupun benar maka sungguh-sungguh hukumnya tetap salah." (HR. Abu Daud)

Dalam riwayat lain disebutkan, "Barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya dari api neraka.” (HR. Muslim)

Tafsir Ibnu Katsir
Maka dari itu dibutuhkan untuk memahami tafsir Qur'an sebagaimana para Salaf dulu telah menafsirkannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitab Majmu' Fatawa-nya menjelaskan, "Ayat al-Quran ditafsirkan oleh ayat lain pada tempat lain, karena terkadang ayat al-Quran saling menafsirkan satu sama lainnya. Apa bila tidak ditemukan ayat lain yang menafsirkannya maka carilah tafsirnya pada hadits Nabi. Dan apa bila tidak ditemukan tafsirnya pada hadits Nabi maka carilah tafsirnya pada perkataan para sahabat, karena mereka belajar langsung tafsirnya pada Nabi dan al-Quran diturunkan di tengah-tengah mereka, mereka menyaksikan langsung diturunkannya al-Quran. Dan apa bila tidak dijumpai tafsirnya pada perkataan para sahabat maka tafsirkanlah dengan penafsiran para tabi’in karena mereka belajar langsung kepada para sahabat.

Kenapa kita harus mengikuti metode sebagaimana yang dilakukan para Salafush Shalih umat ini? Hal ini tak terlepas dari keberadaan mereka yang berada di tengah-tengah turunnya ayat Al Qur'an. Mereka adalah para pioneer dan pendahulu dalam amal kebaikan. Ilmu dan kebenaran kebanyakan berada di tangan mereka.

Hal ini diindikasikan oleh beberapa hadits yang menunjukkan kefahaman seorang sahabat akan ilmu agama ini sebagaimana dalam riwayat berikut.

Abu Ma’mar telah menceritakan kepada kami, Abdul Warits telah menceritakan kepada kami, Khalid telah menceritakan kepada kami, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas radhiallahu'ahu, “Rasulullah saw. telah memelukku (ke dadanya) dan berdo'a,

لْكِتَابَ عَلِّمْهُ االلَّهُمَّ

Ya Allah, ajarkanlah ia al-Kitab (Al-Qur’an).’” (HR. Bukhari)

Bahkan Ibnu Abbas radhiallahu'anhu tatkala beliau mendatangi kelompok khawarij yang memusuhi para ulama dan menafsirkan al-Quran menurut pendapatnya sendiri, beliau berkata, “aku datang dari para sahabat Rasulullah, dari kalangan muhajirin dan anshar dan dari anak paman Nabi serta menantunya (Ali bin Abi Thalib) dan tidak satupun seorang sahabat yang bersama kalian, padahal kepada mereka al-Quran diturunkan dan mereka lebih tahu tentang tafsirnya dari pada kalian” [14]

Jadi tidak dibenarkan kita menafsirkan Qur'an mengikuti kemauan hawa nafsu kita sendiri. Tidak dibenarkan menafsirkannya hanya dengan mengandalkan akal pikiran saja. Maka yang patut kita ikuti adalah cara bagaimana para ulama Salaf dahulu memahaminya.

Ali bin Abu Thalib radhiallahu'anhu berkata: kalau agama adalah dengan akal maka tentu bagian bawah khuf lebih layak untuk dihusap dari pada bagian atasnya”.

Dan Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “jika agama tolak ukurnya adalah akal tentu Allah tidak akan menurunkan al-Quran karena secara fitrah manusia mampu menggunakan akal”.

Untuk lebih jelas dalam memahami kaidah penafsiran Al Qur'an, bisa dilihat di link berikut: larangan-menafsirkan-al-quran-dengan-pendapat-sendiri

4.) Sebagai penutup argumentasi saya. Saya akan coba untuk memaparkan sebuah kisah percakapan yang terjadi antara Abdullah ibnu Mas'ud radhiallahu'anhu dengan Ummu Ya'qub radhiallahu'anha, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Alqamah, dia berkata; Ibnu Mas'ud radhiallahu'anhu telah melaknati perempuan-perempuan yang minta ditato, perempuan yang minta dicukur alisnya, dan perempuan-perempuan yang merenggangkan giginya agar tampak cantik, mereka mengubah ciptaan ALLAH.

Ummu Ya'qub berkata, "Mengapa engkau melaknati mereka?" Sahabat Ibnu Mas'ud pun menjelaskan, "Bagaimana aku tidak melaknati orang yang telah dilaknati oleh Rasulullah, dan itu disebutkan di dalam Al Qur'an." Ummu Ya'qub berkata, "Demi ALLAH, aku telah membaca seluruh ayat yang ada di dalam Al Qur'an ini, namun aku tidak pernah menjumpainya." Lalu Ibnu Mas'ud berkata, "Jika engkau membacanya, niscaya engkau akan menjumpainya. Bukankah engkau pernah membaca;
 
"...apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah..." (QS. Al Hasyr [59]: 7) [15]

Maka tak layak bagi kita, seorang manusia biasa yang ilmunya jauh di bawah Rasulullah dan para sahabatnya, menolak untuk menafsirkan ayat-ayat Qur'an dengan sunnah maupun atsar dari para sahabat radhiallahu'anhuma yang telah diberikan petunjuk serta pemahaman langsung dari Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam. Coba bersama kita renungkan sebuah nasihat yang mulia dari Nabi kita Muhammad Shalallahu'alaihi wa sallam berikut.

سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ لَا يُجَاوِزُ إِيمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Di akhir jaman nanti muncul suatu kaum yang umur-umur mereka masih muda, pikiran-pikiran mereka bodoh, mereka mengatakan dari sebaik-baik manusia, padahal iman mereka tak sampai melewati kerongkongan, mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah keluar dari busurnya, di manapun kalian menemukannya, bunuhlah dia, sebab siapa membunuhnya mendatangkan ganjaran pagi pelakunya di hari kiamat." (HR. Bukhari No. 6418)

Ashdaqal Hadiitsi Kitabullah
Demikian beberapa catatan terhadap sebagian pokok dari buku "Membela Allah" yang ditulis oleh Agus Mustofa. Saya sangat tidak merekomendasikan buku ini untuk dibaca terutama bagi para penuntut ilmu agama yang masih terlalu awam untuk memahami agama yang haq ini. Di dalam buku ini terdapat banyak penyimpangan fikrah yang bisa menyesatkan pemikiran kita semua. Semoga ulasan ini membawa manfaat bagi ikhwah sekalian. Dan hanya kepada ALLAH sajalah kita meminta tambahan ilmu serta petunjuk dan hidayah-NYA.
والله أعلم بالصواب
(by Muhammad Abdullah ibnu Abi Abdillah; 17th April 2012/ ۲۵ Jumadil Awwal ۱۴۳۳ H)

Footnotes:

[1] Mustofa, Agus (2010). Membela Allah hal. 93-97. Surabaya: PADMA Press.

[2] HR. Imam Malik secara mursal (Tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) Al-Hakim secara musnad (Sanadnya bersambung dan sampai kepada Rasulullah ) - dan ia menshahihkannya-) Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (no. 1594), dan Al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/172)

[3] Shafwatu At-Tafasir/Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni/juz 2/hlm 481/Penerbit: Dar Ash-Shabuni, Kairo/Cetakan I/1997 M 1417 H

[4] Kitab Ar Risalah hal. 78 (dinukil dengan sedikit perubahan dari Ma’alim Ushul Fiqih ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 122)

[5] HR. At-Tirmidzi  No. 2891,  Ibnu Majah dalam muqaddimah No. 44, Ahmad No. 17606, dari hadits Irbadh bin Sariyah radhiyallahu 'anhu. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam silsilah Ash-shahihah No. 936.

[6] Hadits di atas juga merupakan sanggahan terhadapa pernyataan Agus Mustofa yang lain berkaitan halnya dengan menulis Hadits (Sunnah). Agus Mustofa menyatakan, "Banyak diantara kita yang masih rancu dalam memahami As Sunnah dan Al Hadits. Mengira sama, padahal keduanya adalah hal yang sangat berbeda. As Sunnah adalah segala ucapan dan perbuatan Rasulullah, saat beliau masih hidup. Sedangkan Al Hadits adalah catatan para ulama hadits, yang baru dilakukan setelah Rasulullah wafat.

Saat Rasulullah masih hidup, beliau justru melarang para sahabat untuk mencatat ucapan dan perbuatan beliau. Karena dikhawatirkan akan mengacaukan catatan al Qur’an yang sedang dalam masa penulisan. Yakni, selama 23 tahun masa kenabian. Hal itu diungkap, salah satunya, dalam muqadimah Al Qur’an keluaran Arab Saudi, dalam bab penyusunan al Qur’an.

Bersabda Rasulullah SAW: Janganlah kalian tuliskan ucapan-ucapanku! Siapa yang (telanjur) menuliskan ucapanku selain al Qur’an hendaklah dihapuskan. Dan kamu boleh meriwayatkan (secara lisan) perkataan-perkataan ini. Siapa yang dengan sengaja berdusta terhadapku, maka tempatnya adalah di neraka.  (HR Muslim dari Abu Al Khudri).

Hadits baru mulai ditulis dan dibukukan di zaman khalifah Umar bin Abdul Azis (717-720 M) dan khalifah-khalifah penerusnya. Meskipun, Rasulullah sudah melarang untuk menulisnya, dan tidak pernah memberikan perintah untuk membukukannya. Tetapi, sang Khalifah memutuskan berijtihad untuk melakukannya dengan sejumlah pertimbangan."

Ini jelas telah menyalahi dua hadits shahih yang mana Rasulullah membolehkan sahabatnya untuk menulis ucapan-ucapan beliau Shalallahu'alaihi wa sallam dengan tujuan untuk dihafalkan. Adapun hadits yang melarang untuk menuliskannya, tak lain sebagai pembeda antara wahyu Qur'an dengan Sunnahnya. Namun hal ini sudah tidak lagi menjadi larangan ketika kaum Muslimin telah bisa membedakan mana yang Qur'an dan mana yang Sunnah. ALLAHu'alam bis  shawab.

[7] Hadits Shahih, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 1196, lihat Tafsir Ibnu Katsir VII/340, cet. Maktabah At Taufiqiyah

[8] Mustofa, Agus (2010). Membela Allah hal. 97-99. Surabaya: PADMA Press.

[9] Ushulul Hadits, Muhammad ‘Ajjaj Al Khatib, hal 27

[10] ‘Ilam Muwaqi’in: 307, Maktabah Syamilah

[11] Ushuulus Sunnah, hal. 3

[12] Syarhus Sunnah, hal. 59

[13] Tafsir Ibnu Katsir, 2/256

[14] Diriwayatkan Abu Dawud No. 4037, Ath-Thabary dalam Mu’jam Kabir: 10/257-258

[15] Diriwayatkan Al Bukhari No. 5939 dan Muslim No. 2125